Senin, 07 Juli 2008

lagi... tentang POLIGAMI


PENGARUH ISLAM TERHADAP PRAKTEK POLIGAMI

DI ARAB DAN INDONESIA

(Satu Kajian Perbandingan)

Memahami Poligami

Secara etimologis, istilah poligami berasal dari bahasa Yunani yaitu polus yang artinya banyak dan gamos yang berarti perkawinan. Kata lain yang mirip dengan itu ialah poligini, juga berasal dari Yunani yaitu polus yang berarti banyak dan gene yang berarti perempuan.

Sementara itu dalam kamus Besar Indonesia dinyatakan bahwa kebalikan dari poligami adalah poliandri, yaitu dimana perempuan mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu bersamaan.

Poligami telah banyak dikenal orang dari berbagai bangsa, kebudayaan serta agama dan kepercayaan yang berbeda. Hasil penelitian G.P. Murdock di awal tahun 1940-an menggungkap hal tersebut. Dengan mengambil sampel sekitar 565 kelompok masyarakat dari semua benua dan daerah, hanya sekitar 19% yang mempunyai keluarga inti monogami, sedangkan 81% melakukan poligami. Sampai kira-kira awal tahun 1970-an catatan antropologis baru mendapatkan lima contoh poliandri, yaitu suku-suku bangsa di Tibet Tengah, Toda di Mysore (India Selatan), Kasta Nayar di Cochin (India Selatan), penduduk Kepulauan Marquesas (Polinesia), dan suku bangsa Netsilik Eskimo di daera Teluk Hudson.[i]

Muhammad Thalib mengatakan bahwa model perkawinan ada empat, yaitu:

1) perkawinan monogami, yaitu perkawinan antara seorang lelaki dengan seorang perempuan saja sebagai isterinya dan seorang perempuan dengan seorang lelaki saja sebagai suaminya, tanpa ada perempuan lain yang menjadi madunya.

2) perkawinan poligami, yaitu sebuah bentuk perkawinan dimana seorang lelaki mempunyai dua isteri dalam waktu yang sama.

3) perkawinan bigami, yaitu bentuk perkawinan dimana seorang lelaki mengawini dua perempuan atau lebih dalam masa yang sama dan semuanya bersaudara.

4) perkawinan poliandri, yaitu bentuk perkawinan dimana seorang perempuan mempunyai dua suami dalam waktu yang bersamaan.[ii]

1. Praktek Poligami Masyarakat Arab

Pada masyarakat Arab berlaku sistem poligami yang tidak dibatasi jumlah perempuan yang boleh dinikahi. Dianggap suatu hal yang wajar jika seorang pria menikahi berapa pun wanita yang ia sukai, asalkan ia mempunyai keperkasaan dan kekuasaan yang berlimpah. Karena pada masa Jahiliyah banyaknya istri yang dimiliki seseorang, melambangkan kekuasaan dan kemakmuran yang dimilikinya.

Penyebab mereka memiliki banyak istri adalah kecenderungan untuk bersenang-senang. Hal ini berkaitan dengan bangsa Arab sebelum kenabian Rasulullah Saw selalu berada dalam perselisihan dan peperangan. Peperangan tersebut mengakibatkan jumlah laki-laki pada saat itu berkurang dan sisanya perempuan yang menjanda dan hidup tanpa suami.

Pada masa Jahiliah, para wanita sangat menderita karena tidak memiliki hak-hak dan tidak dimuliakan, kebanyakan mereka berganti-ganti dari satu laki-laki ke laki-laki lainnya. Bahkan perempuan dijadikan rampasan perang yang bisa dibagikan sesukanya.

2. Praktek Poligami Masyarakat Indonesia

Begitu juga pada masyarakat Indonesia, poligami telah menjadi budaya, karena telah lama dipraktekkan oleh para nenek moyang kita, khusunya di pulau Jawa. Kasus poligami di Jawa sudah ada sejak sebelum Islam. Hal ini dapat merujuk pada masyarakat Bali yang beragama Hindu-Bali yang juga mempraktekkan poligami.

Agama Hindu-Bali pada mulanya berasal dari Jawa yang masuk ke Bali di masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Poligami di Bali juga dilegitimasi oleh agama Hindu, tetapi pada umumnya terbatas dilakukan oleh kalangan atas. Dalam kebudayaan Jawa, istri pertama menduduki posisi pendamping langsung suaminya dan bisa memerintah istri-istri yang lain.

Mengenai kebudayaan Jawa, Koentjaraningrat menunjukkan bagaimana kedudukan istri utama (garwa padmi) seorang priyayi di masa kolonial Belanda yang juga berasal dari keturunan priyayi menduduki tempat tinggi dan terhormat dalam rumah tangga. Istri utama ini diharapkan mendampingi suami dalam kegiatan-kegiatan sosial kepemerintahan dan kemasyarakatan. Sementara istri-istri lainnya (selir atau garwa ampil) – yang umumnya diambil dari kelas sosial ekonomi bawah pedesaan – menempati kedudukan yang lebih rendah. Seorang garwa ampil mendapat bagian ruang kecil dari dalem (rumah priyayi) untuk tempat tinggalnya, dibantu oleh seorang atau dua orang pembantunya. Suaminya akan memanggil ke kamarnya di bangunan utama dalem bila ia diperlukan. Sedangkan semua anak, baik dari garwa padmi maupun dari garwa ampil memiliki hak dan kewajiban yang sama.[iii]

Dari pernyataan tersebut, dapat kita ketahui bahwa tidak ada keadilan bagi para istri. Hal ini, justru merugikan pihak perempuan. Jadi, ada persamaan antara budaya poligami di Arab dan Indonesia, yaitu, tidak ada keadilan bagi para istri dan tidak ada batas jumlah istri.

Konsep Poligami dalam Islam

Islam tidak memisahkan antara kehidupan bangsa Arab pada masa Jahiliyah dengan bangsa Arab pada masa Islam, tetapi Islam membersihkan pola kehidupan tersebut dengan mempertahankan kebaikan di dalamnya, membuang segala keburukan dan meluruskannya dengan tujuan yang sesuai.

Islam tidak melarang umatnya untuk berpoligami dan tidak pula mengajaknya secara mutlak tanpa batasan. Tetapi Islam membatasinya dengan ikatan keimanan yang terkandung dalam nash al-Qur'an[iv]. Allah SWT, berfirman :

"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,[v] Maka (kawinilah) seorang saja[vi], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya" .[ an-Nisa : 3]

Ayat al-Qur'an tersebut menunjukkan bahwa kemudahan berpoligami dan pembatasannya dengan empat perempuan tergabung dalam satu ayat dengan rasa takut sebagai perbandingan untuk berlaku zalim atau tidak adil.[vii]

Kata perintah فانكحوا(nikahilah) pada ayat tersebut menunjukkan pelajaran, pengarahan, dan pendidikan dan bukanlah suatu kewajiban, karena Allah SWT, berfirman : " jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,[viii] Maka (kawinilah) seorang saja". Jumhur ulama berpendapat bahwa perintah yang terdapat dalam kata فانكحوا mengandung makna mubah seperti makan dan minum.

Allah Swt berfirman :

" makanlah dari makanan yang baik-baik yang Telah kami berikan kepadamu..." [al-Baqarah : 57]

Allah Swt tidak mengharuskan laki-laki untuk berpoligami. Orang yang tidak berpoligami tidak akan berdosa, siapa pun yang melihat poligami sebagai hal yang buruk maka janganlah berpoligami. Poligami diibaratkan sebagai alternatif dengan tetap menjaga dari ketakutan untuk tidak bisa adil.

Poligami yang ideal adalah poligami yang memenuhi ketentuan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa poligami itu mubah (dibolehkan), maka ketika seseorang memilih untuk berpoligami ia harus memenuhi syarat yang telah ditentukan yaitu adil. Karena ketika kita mengambil suatu hukum, maka kita harus mengambil hukum tersebut dari segala aspek.

Orang-orang cenderung kepada poligami dengan alasan menjalankan hukum Allah Swt tetapi banyak dari mereka yang meninggalkan kewajiban untuk berlaku adil. Dan kebanyakan istri membenci poligami adalah karena banyak didapatkan apabila suami menikah dengan wanita lain, dia berpaling kepada istri barunya, lebih mencintai dan menyayanginya dari pada istri pertamanya. Oleh karena itu, wajar jika perempuan menolak poligami.

Dengan demikian, setiap orang yang melaksanakan hukum Allah Swt untuk berpoligami, maka ia pun harus melaksanakan hukum Allah Swt untuk berlaku adil. Maksud dari adil dalam berpoligami adalah adil dalam memberikan hak-hak istrinya, baik lahir maupun batin, dan merata dalam memberikan tempat, nafkah dan lainnya.[ix]

Sedangkan yang berhubungan dengan hati, maka dia tidak mungkin dapat melakukannya. Walaupun Rasulullah SAW sangat adil kepada istri-istrinya ketika beliau membagi waktunya untuk mereka, beliau bersabda: "Ya Allah inilah pembagian yang dapat aku lakukan janganlah Engkau mencelaku dalam hal yang aku tidak mampu melakukannya". (Shahih Muslim/IV,175). Begitu juga Allah SWT, berfirman :

"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian..." [an-Nisa :129]

Oleh karena itu, mereka diperintahkan untuk adil kepada istri-istrinya dan tidak boleh cenderung kepada salah satunya sehingga kehidupan yang lain terkatung-katung, yakni tidak seperti kehidupan suami istri, Allah SWT, berfirman:

"Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung..." [an-Nisa :129]

Selain adil, terdapat ketentuan lain yang harus dipenuhi oleh seseorang yang memilih berpoligami yaitu mampu untuk memberi nafkah. Apabila tidak mampu memberi nafkah untuk istri-istri serta anak-anaknya maka poligami hanya akan menambah faktor kemiskinan dan kebodohan.

Analisis Pengaruh Islam terhadap Praktek Poligami Mayarakat Arab

Ijma telah menghasilkan keputusan untuk mengharamkan poligami lebih dari empat perempuan. Jumhur ulama menggunakan hadits Nabi sebagai hujjah, yakni hadits yang mengatakan bahwa Rasulullah saw memerintahkan umat Islam yang memiliki istri lebih dari empat untuk memilih empat perempuan dari mereka dan menceraikan yang lain.

Di antara sahabat yang diperintahkan untuk menceraikan istrinya adalah : Harits bin Qais ash-Ashmi yang memiliki delapan istri, Mas'ud bin Amir bin Mu'tab, Ma'ud bin 'Amir bin 'Amir, Urwah bin Mas'ud dan lainnya, mereka semua mempunyai lebih dari empat.

Seperti yang diriwayatkan Tirmidzi :"Bahwa Ghailam ibn Salamah ketika masuk Islam mempunyai 10 orang istri, maka Nabipun berkata kepadanya: "Pilihlah empat (sebagai istrimu), dan ceraikan yang lainnya".

Analisa yang mungkin dijadikan sandaran bagi adanya alasan-alasan yang dapat menyebabkan suami diizinkan berpoligami, dapat dilihat dari konteks ayat, sejarah poligami bangsa Arab pra-Islam, dan memahami latar belakang poligami Nabi.

Sebab diturunkannya surat an-nisa ayat 1-4 adalah perlakuan wali terhadap anak-anak yatim yang diasuhnya, mereka pada umumnya berlaku tidak adil. Banyak wali yang ingin menikahi anak yatim untuk menguasai hartanya atau melakukan cara lain dengan melarang mereka menikah kecuali dengan pasangan pilihannya, agar para wali tersebut mendapatkan keuntungan dari pengurangan mahar, belanja, dan mereka selalu berusahan menguasai harta anak yatim.

Menurut al-Khudari Bek, kedatangan Rasulullah saw membawa syari'at islam berhadapan dengan tata aturan yang ada dan diikuti umat. Tata aturan tersebut tidak sepenuhnya dihapus al-Qur'an, dan tidak pula seluruhnya ditolak, adakalanya tetap diperlakukan yakni pada aturan yang tidak merusak, dalam arti sesuai dan dapat diterima Islam, dan ada kalanya tata aturan itu diganti dengan yang baru karena tidak cocok dengan tujuan syariat.

Dalam konteks sejarah, ayat ini turun setelah perang uhud yang memakan korban tewas 70 orang laki-laki dari 700 tentara Islam, akibatnya banyak janda dan anak yatim yang terlantar dan butuh pertolongan pemeliharaan. Menurut konteks sosial saat itu, jalan terbaik untuk memelihara dan menjaga para janda dan anak yatim adalah dengan menikahi mereka, dengan syarat harus adil. Jadi menikahi jadi menikahi janda dan/atau anak-anak yatim saat itu adalah sebagai wujud pertolongan, bukan memenuhi kebutuhan/kepuasaan seks.

Untuk memahami latar belakang kebolehan poligami, Ali al-Shabuni mencoba menyusun daftar motivasi poligami yang dilakukan Nabi, ia mengatakan ada empat alasan dari poligami Nabi, yaitu : hikmah ta'limiyah, hikmah tasyri'iyah, hikmah ijtimaiyajh, dan hikmah siasiyah.

Hikmah ta'limiyah adalah untuk mencarikan kader-kader wanita sebagai guru agama bagi para muslimah lainnya. Hikmah tasyri'iyah untuk membatalkan sebagian adat istiadat jahili yang menyimpang. Seperti, status anak angkat tidak sama dengan anak kandung dalam hal waris, thalaq, perkawinan. Hikmah ijtima'iyah untuk memperkuat ikatan persaudaraan Nabi dengan suku-suku Arab Quraisy dengan menikahi anak tokoh dari suku tersebut. Hikmah siyasiyah untuk menarik perhatian dan simpati, mengokohkan ikatan keluarga dan persaudaraan.

Maka, budaya poligami di masyarakat Arab berubah setelah kedatangan Islam menjadi lebih teratur, perubahan yang ada antara lain :

  1. Pembatasan jumlah wanita yang ingin dinikahi,
  2. Syarat dengan beraku adil dan mampu secara ekonomi,
  3. Poligami untuk menjadikan wanita berada pada posisi yang lebih baik.
  4. Motivasi untuk melakukan poligami adalah menolong janda dan anak yatim.

Analisis Pengaruh Islam terhadap Praktek Poligami Masyarakat Indonesia

Sedangkan di Indonesia, masuknya agama Islam ke Indonesia pada awal abad ke 13 memperkuat tradisi praktek poligami yang sebelum Islam sudah ada pada masyaralat Indonesia. Dan bahkan menjadi bertambah dan meluas seperti yang terjadi di Minangkabau.

Saadah Alim mengamati kehidupan perkawinan di masyarakat Minangkabau pada awal tahun 1930-an :

".... Agama membolehkannya mempunyai sebanyak-banyaknya empat orang istri, dan hak istimewa ini memang dipergunakan sebaik-baiknya. Mungkin tak ada tempat lain yang begitu banyak penganut poligaminya, tak ada tempat lain di mana begitu banyak terdapat kaum wanita yang merana seperti di Minangkabau...

Yang benar-benar melakukan poligami adalah terutama kepala-kepala laras, yang sungguh-sungguh menjadi para pemegang kekuasaan yang penting. Mereka amat dijunjung tinggi oleh rakyat dan karena itu menjadi pihak-pihak yang sangat disukai, sehingga jumlah kaum wanita yang menjadi teman hidup mereka jauh melebihi empat yang diperbolehkan, dan jumlah keturunan mereka begitu pula besar sekali.

Perkawinan berganda ini dipermudah oleh adat, yang tidak mewajibkan si bapak mengurus anak-anaknya. Karena sistem matriarkhat, anak-anak termasuk keluarga si ibu, yang kepala keluarganya adalah mamak, pamannya. Mamak itulah yang diwajibkan mengurus dan mendidik anak-anak... mamak hanya mengusahakan wanita dan anak-anak cukup makannya – sawah keluarga biasanya cukup merupakan jaminan ... "[x]

Budaya poligami pada masyarakat Arab dan Indonesia adalah contoh kecil dari praktek poligami yang ada, karena poligami telah dicontohkan oleh orang-orang terdahulu pada setiap masyarakat dengan mempertimbangkan hal-hal yang terjadi saat itu.

Dalam satu masyarakat praktek poligami terjadi karena jumlah pria yang berkurang karena perang dan banyaknya janda dan anak yatim yang hidup tanpa perlindungan.

Dilain pihak, pada kelompok masyrakat yang bergantung pada pertanian, peternakan, kerajinan yang belum menggunakan teknologi pada mekanik. Maka instrumen utama untuk mencapai keuntungan adalah tenaga kerja yang banyak. Semakin banyak tenaga kerja akan semakin banyak pula keuntungan yang didapat, terutama jika penggerahan tenaga kerja yang ada dalam keluarga besar memungkinkan keuntungan yang lebih besar lagi. Maka dalam keadaan seperti ini, seorang suami yang berpoligami, dalam konteks kepentingan ekonomi berfungsi untuk menambah dan membesarkan pemilikan dan penguasaan aset produksi.

Setelah Islam datang, banyak perubahan yang terjadi seperti :

No.

Sebelum Islam

Sesudah Islam

1.

Tidak ada pembatasan Jumlah istri

Dibatasai menjadi tidak lebih dari empat orang

2.

Tidak ada syarat, berlaku sebagaimana kehendak pelaku

Adil dan mampu secara ekonomi merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh pelaku

3.

Terjadi karena saat itu perempuan tidak dihargai

Dibolehkan karena untuk melindungi janda dan anak yatim, karena saat itu banyak terjadi perang

Analisis Poligami dari Segi Manfaat dan Dampaknya

A. Manfaat Poligami

George Anquetil, menyatakan bahwa manfaat poligami antara lain :

  1. Menekan merajalelanya prostitusi (sebagaimana yang terjadi pada bangsa Mormon).
  2. Melenyapkan salah satu penyakit kotor yang dapat membunuh jenis manusia.
  3. Memungkinkan berjuta-juta wanita menikmati haknya dalam cinta naluri keibuan.
  4. Mengurangi kasus-kasus perzinahan yang tidak tehitung banyaknya, kejahatan-kejahatan karena nafsu birahi, kemunafikan dalam rumah tangga yang tidak sehat, ancaman terhadap berkurangnya penduduk, pembunuhan anak-anak dan penyerahan bayi-bayi ke tempat-tempat penampungan.
  5. Menghilangkan penderitaan anak-anak "haram", memperbaiki jenis manusia dengan lahirnya anak-anak yang sehat dan shalih, serta setiap suami dan istri akan menjalankan tugasnya dengan gembira.[xi]

Kholid Syamhudi dan tulisannya yang berjudul “Keindahan Poligami Dalam Islam” yang dimuat pada majalah As Sunnah Edisi 12/X/1428 H, mengatakan bahwa hikmah poligami, di antaranya :

1. Poligami adalah syariat yang Allah pilihkan pada umat Islam untuk kemaslahatan mereka.

2. Seorang wanita terkadang mengalami sakit, haid dan nifas. Sedangkan seorang lelaki selalu siap untuk menjadi "penyebab" bertambahnya umat ini. Dengan adanya syariat poligami ini, tentunya manfaat ini tidak akan hilang sia-sia. (Syaikh Muhammad Asy Syanqithi dalam Adhwaul Bayaan 3/377 dinukil dari Jami’ Ahkamin Nisaa 3/443-3445. (

3. Jumlah lelaki yang lebih sedikit dibanding wanita dan lelaki lebih banyak menghadapi sebab kematian dalam hidupnya. Jika tidak ada syariat poligami sehingga seorang lelaki hanya diizinkan menikahi seorang wanita maka akan banyak wanita yang tidak mendapatkan suami sehingga dikhawatirkan terjerumus dalam perbuatan kotor dan berpaling dari petunjuk al Quran dan Sunnah. (Syaikh Muhammad Asy Syanqithi dalam Adhwaul Bayaan 3/377 dinukil dari Jami’ Ahkamin Nisaa 3/443-3445.(

4. Secara umum, seluruh wanita siap menikah sedangkan lelaki banyak yang belum siap menikah karena kefakirannya sehingga lelaki yang siap menikah lebih sedikit dibandingkan dengan wanita. (Sahih Fiqih Sunnah 3/217.(

  1. Syariat poligami dapat mengangkat derajat seorang wanita yang ditinggal atau dicerai oleh suaminya dan ia tidak memiliki seorang pun keluarga yang dapat menanggungnya sehingga dengan poligami, ada yang bertanggung jawab atas kebutuhannya.
  2. Poligami merupakan cara efektif menundukkan pandangan, memelihara kehormatan dan memperbanyak keturunan. Betapa telah terbaliknya pandangan banyak orang sekarang ini, banyak wanita yang lebih rela suaminya berbuat zina dari pada berpoligami.
  3. Menjaga kaum laki-laki dan wanita dari berbagai keburukan dan penyimpangan.
  4. Memperbanyak jumlah kaum muslimin sehingga memiliki sumbar daya manusia yang berkualitas.[xii]

B. Dampak Poligami

Dampak yang umum terjadi terhadap istri yang suaminya berpoligami:

  1. Timbul perasaan inferior, menyalahkan diri sendiri, istri merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya.
  2. Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Ada beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya. Tetapi seringkali pula dalam prakteknya, suami lebih mementingkan istri muda dan menelantarkan istri dan anak-anaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari.
  3. Hal lain yang terjadi akibat adanya poligami adalah sering terjadinya kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis.
  4. Selain itu, dengan adanya poligami, dalam masyarakat sering terjadi nikah di bawah tangan, yaitu perkawinan yang tidak dicatatkan pada kantor pencatatan nikah (Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama). Perkawinan yang tidak dicatatkan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah menurut agama. Bila ini terjadi, maka yang dirugikan adalah pihak perempuannya karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi oleh negara. Ini berarti bahwa segala konsekwensinya juga dianggap tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya.[xiii]

Anshori Fahmie mengatakan dampak poligami terhadap keluarga sebagai berikut:

  1. Menanamkan kebencian,
  2. Menimbulkan ketidakpercayaan,
  3. Membuat anak traumatik hingga ia berkeluarga.

Dengan memperhatikan manfaat dan dampaknya, maka setiap orang memiliki hak untuk mememilih cara ia menghadapi masalah keluarga yang dihadapinya. Dalam negara kita Indonesia, sudah terdapat Undang-undang yang mengatur praktek poligami, hendaknya undang-undang tersebut dijadikan pedoman bagi mereka yang ingin melakukan poligami, selain berpegang kepada agama, agar praktek poligami berjalan sesuai dengan harapan.

Kesimpulan

Poligami merupakan budaya masayarakat Arab yang telah lama ada, bahkan sebelum Islam datang, hal ini disebabkan pada masa jahiliah sering terjadi peperangan yang menyebabkan berkurangnya jumlah laki-laki dan bertambahnya jumlah janda dan yatim. Selain itu, wanita pada zaman jahiliah tidak dihargai, ia dapat dijadikan barang dagangan, rampasan perang yang bisa diberikan kepada siapapu, itulah hal yang menyebabkan poligami banyak terjadi pada masyarakat Arab.

Kemudian Islam datang dengan membawa aturan hidup yang lebih baik. Islam tidak menghapuskan poligami, namun membuatnya lebih terarah. Yaitu dengan memberikan syarat yang ketat bagi para pelaku poligami.

budaya poligami di masyarakat Arab berubah setelah kedatangan Islam menjadi lebih teratur, perubahan yang ada antara lain :

  1. Pembatasan jumlah wanita yang ingin dinikahi,
  2. Syarat dengan beraku adil dan mampu secara ekonomi,
  3. Poligami untuk menjadikan wanita berada pada posisi yang lebih baik.
  4. Motivasi untuk melakukan poligami adalah menolong janda dan anak yatim.

Pada intinya, perubahan yang dibawa Islam adalah untuk memberikan kehidupan yang lebih baik dengan mengangkat derajat para janda dan yatim.

Sebagian pakar mengatakan bahwa dasar pernikahan dalam Islam adalah monogami, sedangkan poligami adalah sebuah alternatif yang boleh dilakukan karena beberapa faktor atau keterpaksaan, dan keterpaksaan ini bersifat relatif. Atau singkatnya islam telah mengingatkan bahwa monogami adalah tak ubahnya seperti kebutuhan dalam kehidupan bermasyarakat, dan poligami seperti halnya obat yang digunakan untuk mengobati penyakit dalam masyarakat.

Poligami bukanlah sesuatu yang wajib dilakukan. Karena kemampuan setiap orang berbeda begitu pula kemampuan mereka dalam memenuhi ketentuan melakukan poligami. Pepatah arab mengatakan :ليس كل ما يصلح لشخص أن يصل لغيره, tidak semua yang baik untuk seseorang baik pula untuk yang lainnya. Maksudnya, ketika kita melihat seseorang berhasil menerapkan poligami, belum tentu kita bisa berhasil pula menerapkannya.

SARAN

Melihat kesamaan budaya poligami masyarakat Arab dengan Indonesia, maka penulis menyarankan :

  1. memberikan penyuluhan kepada semua kalangan, baik yang telah berkeluarga maupun yang belum berkeluarga, mengenai poligami yang sesuai dengan syariat dan peraturan negara.
  2. memberikan pengertian kepada masyarakat, agar tidak fanatik pada budaya nenek moyang yang terkadang tidak sesuai dengan zaman. Seperti, adanya perbedaan kasta.
  3. menjadikan agama sebagai pedoman hidup yang utama, karena siapa yang berpegang teguh pada agama tidak akan tersesat, begitu pula dalam praktek poligami, sudah seharusnya pelaku melakukan ketentuan yang telah ditetapkan agama, seperti berlaku adil, dan tidak melebihi empat orang istri. Kita dapat melihat keteguhan sahabat yang menceraikan beberapa istrinya (yang lebih dari empat orang) ketika ia masuk Islam.


[i] Budi Radjab, Meninjau Poligami; Perspektif Antropologis dan Keharusan Merubahnya, Jurnal Perempuan, 31, (2003) hal 70

[ii] Muhammad Thalib, Orang Barat Bicara Poligami, (Yogyakarta:wihdah press, 2004), hal 23

[iii] Budi Radjab, Meninjau Poligami; Perspektif Antropologis dan Keharusan Mengubahnya, Jurnal Perempuan, Edisi 31, 2003, hal 72

[iv] Dr.Karim Hilmi Farhat Ahmad, Poligami Berkah atau Musibah? (Jakarta : Senayan Publishing, 2006), hal 17

[v] berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni istri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.

[vi] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat Ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad s.a.w. ayat Ini membatasi poligami sampai empat orang saja.

[vii] Ibid., hal 18.

[viii] berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni istri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.

[ix] Ibid., hal 42

[x] Saadah Alim, "Minangkabau, Beberapa Cuplikan dari Kehidupan Masyrakat, dalam Subadio dan Ihromi", (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983), hal 25-27

[xi] Muhammad Thalib, op.cit, hal 80

[xii] http://muslim.or.id/?p=536&akst_action=share-this

[xiii] Lbh-apik.or.id/lembah ifo seri 31

الابتداء في الجزء الثلاثين من القرآن الكريم وتضمينه في تدريس البلاغة

teman2.. ni presentasi sidang skripsiku.. semoga bermanfaat tuk tmn2 yang sedang, atau akan menghadapi sidang skripsi.. Robbuna Ma'ak

الحمد لله الواحد الأحد الفرد الصمد لم يلد ولم يولد ولم يكن له كفوا أحد, سبحانه لو شاء أغلق بابه عمّن عصاه ومن جحد, فطُوبَى لعبد صالحٍ لجلال سيِّده سجد, وأشهد أن محمدا عبده ورسوله وصَفِيُّه مِن خلقه وخليلُه, صلى الله عليه وآله وسلم, وبعد.

بداية يطيب لي أن أشكركم لحضوركم في هذا المكان لمناقشة بحثي, فسيادة الأساتذة اسمحوا لي أن أقدم لكم خلاصة البحث لمدة لا تزيد من 15 دقائق بإذن الله تعالى:

حمدا الله سبحانه وتعالى على أن هدني لاختيار هذا الموضوع الجذاب بعنوان "الابتداء في الجزء الثلاثين من القرآن الكريم وتضمينه في تدريس البلاغة" واخترت هذا الموضوع لأنه لم يوجد أحد من قيلي يختاره لبحثه, وأعتقد أنه موضوع مهم.

والطريقة المستخدمة فِي هذا البحث هي الطريقة التحليلية الوصفية من خلال تحليل الابتداء في الجزء الثلاثين من القرآن الكريم. وتركيزه فِي أنواع الابتداء وهي حسن الابتداء وبراعة الاستهلال في سور الجزء الثلاثين من القرآن الكريم.

نعرف أن لإنسان وحيوان ونبات لغة, نعرف من قوله تعالى أن للنملة لغة

ولغة الإنسان مختلفة بلغات غيره, فلغة الإنسان عبارة

عن حياته, ولا يمكن الإنسان أن يكون أعضاء المجتمع الفعال إلا بوسيطة اللغة, وباللغة يمكن الإنسان القيام بالتعلم والتعليم.

وأفضل اللغة هي اللغة العربية حيث أنزل الله القرآن بها, ومن فضائل القرآن الكريم أنه مفتاح العلوم كافة. وعلم اللغة العربية منهما علم البلاغة أحد هذه العلوم الذي نشأت في أحضان كتاب الله العزيز, والسبب في ذلك هو خوف العرب المسلمين على قرأنهم ولغتهم من أن يتسرب إليها اللحن الذي بدأ يتفشى بعد دخول العجم في الدين الإسلامي.

ومن العلوم العربية علم البلاغة الذي يتكون من علم البيان والمعاني والبديع. فأصدر الفكر الأساسي للبحث على أهمية مواضع التألق في الكلام فهي من المحسنات اللفظية حيث أنها قسم من أقسام علم البديع. أي هي مواضع التي لا بد من كل متكلم أن يحسن في كلامه, وهي ثلاث: الابتداء والتخلص والانتهاء.

فالابتداء يعني أول ما يقرع السمع, ومثل البسملة في أول السورة وكذالك كلمة الحمد والشكر في بداية الخطبة.

والتخلص يعني الانتقال من معنى إلى معنى.كقول القائل بعد حمد الله – ((أَمَّا بَعْدُ)) : لأنها بمعنى ((مهما يكن من شيء بعد الحمد أو نحوه فإنه كان كذا وكذا)). وهذا يفيد أن ما بعدها مرتبطة بالحمد.

والانتهاء يعنى: آخر ما يصدر من المتكلم من قصة وضعها، أو خطبة ألقاها، أو مقالة نشرها، أو قصيدة أنشأها.

وبعد أن نفهم مواضع التألق في الكلام. نخطو إلى موضوع البحث وهو أي لإجابة السؤال: "كيف الابتداء في الجزء الثلاثين من القرآن الكريم وما هو تضمينه فِي تدريس البلاغة؟".

وطبيعة البشرية أن يحب الإنسان الافتتاح الجميل, من الصباح الصحو, والتحية العذبة, والوجه البشوشة, والبسمة الرائقة, واللقاء الودود؛ فيَفيض عليه شعور مريح, وتفاؤل غامر. لا يقتصر ذلك على زمان معين, أو مكان محدد.

والقرآن الكريم (وهو كلام الله، المنزل على محمّد صلى الله عليه وسلم باللفظ العربي، المتعبد بتلاوته)كان افتتاح سوره أحسن وأجمل الافتتاحات إذا افتتحت بعشرة أنواع من الكلام وهي: (الثناء، وحروف التهجي،والنداء، والجملة الخبرية، والأقسام، والشرط، والأمر، والاستفهام، والدعاء، والتعليل ).

فللابتداء ثلاثة أنواع:

1. حسن الابتداء

2. وبراعة الاستهلال

3. قبح الابتداء

1. حسن الابتداء: هو أن يكون مطلع الكلام شعرا أو نثرا أنيقا بديعا.

2. براعة الاستهلال: أن يقدم المتكلم في صدر كلامه ما يوحى بموضوع الكلام وما سيرد فيه من قضايا ومعان.

والفرق بين حسن الابتداء وبراعة الاستهلال: أن حسن الابتداء لم يشر إلى المقصود وبراعة الاستهلال تشير إلى المقصود (حسن الابتداء جزء من براعة الاستهلال). والاتفاق بينهما: كلاهما بدأ بأسلوب جميل ويجذب الانتباه وموجود في أول الكلام.

3. قبح الابتداء: ضد حسن الابتداء,

نتيجة البحث:

1. أنواع الكلام التي افتتحت بها في الجزء الثلاثين من القرآن الكريم

2. أنواع الابتداء

وفي الجزء الثلاثين, تجد أن فيها ثمانية أنواع, وهي:

1) الثناء, سورة واحدة, وهي: سورة الأعلى.

2) الجملة الخبرية, سبع سور, وهي: سورة عبس, وسورة البلد, وسورة القدر, وسورة البينة, وسورة القارعة, وسورة التكاثر, وسورة الكوثر.

3) القسم, عشر سورة, وهي: سورة النازعات, وسورة البروج, وسورة الطارق, وسورة الفجر, وسورة الشمس, وسورة الليل, وسورة الضحى, وسورة التين, وسورة العصر, وسورة العاديات .

4) الشرط, خمس سور, وهي: وسورة التكوير, وسورة الانفطار, وسورة الانشقاق, وسورة الزلزلة, وسورة النصر.

5) الأمر, خمس سور, وهي: سورة العلق, وسورة الكافرون, وسورة الإخلاص, وسورة الفلق, وسورة الناس.

6) الاستفهام, خمس سور, وهي: سورة النبأ, وسورة الغاشية, وسورة الشرح, وسورة الفيل, وسورة الماعون.

7) الدعاء, ثلاث سور, وهي: سورة المطففين, وسورة الهمزة, وسورة المسد.

8) التعليل, سورة واحدة, وهي: سورة قريش.

أكثر أنواع الكلام التي افتتحت بها السورة هي القسم وهذا متبعا النهج العربي في توكيد الأخبار المهمة به.

وفي هذا البحث نجد أن في الجزء الثلاثين من القرآن الكريم:

1. السور المبدوءة بحسن الابتداء 11 سورة (30%) وهي : سورة عبس, وسورة التكوير, وسورة المطففين, وسورة الطارق, وسورة الأعلى, وسورة الفجر, وسورة البلد, وسورة الشمس, وسورة التين, وسورة الماعون, وسورة الكوثر.

2. والسور المبدوءة ببراعة الاستهلال 26 سورة (70%) وهي : سورة النبأ, وسورة النازعات, وسورة الانفطار, وسورة الانشقاق, وسورة البروج, وسورة الغاشية, وسورة الليل, وسورة الضحى, وسورة الشرح, وسورة العلق, وسورة القدر, وسورة البينة, وسورة الزلزلة, وسورة العاديات, وسورة القارعة, وسورة التكاثر, وسورة العصر, وسورة الهمزة, وسورة الفيل, وسورة قريش, وسورة الكافرون, وسورة النصر, وسورة المسد, وسورة الإخلاص, وسورة الفلق, وسورة الناس.

التضمين

إنه لا شك فيه أن في هذا البحث تضمينه في تدريس البلاغة, لأن الابتداء من جزء لا يتجزأ من مواضع التألق في الكلام, ومن طبيعة الإنسان أن يحب أول الشيء الجميل والحسن, لذلك تدريس هذا الموضوع مهم جدا, لأن الابتداء شيء مهم لا يمكن وجود الشيء إلا به -هذا بخلاف صفات الله تعالى وهو سبحانه وتعالى موجود قبل عدم وليس قبله أحد-.

ولا بد للمدرس أن يدرس هذا الموضوع بإعطاء التمرينات الكثيرة والمتنوعة, مثل تحليل الابتداء من مقالة وخطبة وغيرهما, حتى يتعود الطلاب على إلقاء كلام بالغ يجذب الانتباه بالابتداء الحسن ويشير إلى المقصود.

وفي هذا البحث مثال أعلى لابتداء حسن, حيث افتتحت سور القرآن بأنواع الكلام المتنوعة والجيدة, وهي: الثناء, والدعاء, والأمر, والقسم, والجملة الخبرية, والتعليل, والشرط, والنداء, والاستفهام, والتهجي. مثلا يمكننا أن نستخدم القسم في ابتداء الكلام إذا أردنا أن نلقي خبرا مهما.

الإسلام دين السلام

يعتبر السلام من أعظم تعاليم الإسلام التي تقوي العلاقات الاجتماعية وأواصر المحبة في المجتمع، والتي تمحو الحقد والكراهية من القلوب، ورسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: "لا تدخل الجنة حتى تؤمنوا ولا تؤمنوا حتى تحابوا أولا أدلكم على شيء إذا فعلتموه تحاببتم أفشوا السلام بينكم" رواه مسلم. وهذا يدل على أن الإسلام دعوة للسلام والأمن والمحبة والتعايش السلمي، ونبذ العداوة والبغضاء والحقد والكراهة والتعصب والحرب، فهذا الدين الذي يجعل السلام في مقدمة تشريعه، كيف تلصق به تهمة العنف والإرهاب أو سفك الدماء؟ وكيف يصفونه بالتطرف والكراهية؟

وجاء الإسلام فكان مؤكدا ومصدقا للعقائد الإلهية، ولم يكن خصما ولا حربا على ما سبقه، بل من أصوله الإيمانية التصديق المطلق بالرسالات السابقة، قال تعالى في سورة البقرة: 286

والإسلام دعوة الأنبياء جميعا, قال الله تعالى على لسان نوح عليه السلام: سورة يونس: 72, وقال على لسان يعقوب عليه السلام: سورة البقرة: 132، وقال على لسان موسى عليه السلام: سورة يونس: 84، وقال على لسان الحواريين: سورة المائدة: 111.

السلام والمحبة والصدق والأمانة، هي المبادئ والقيم التي كانت وراء انتشار الإسلام انتشارا واسعا في العالمين القديم والجديد، في إفريقيا وفي آسيا، في إندونيسيا وماليزيا والفيليبين، وبالحكمة والموعظة الحسنة والإقناع وصل الإسلام إلى جنوب الهند وسيريلانكا ومالديف وسيبيريا والتبت وسواحل الصين، فأين الجيوش والقوة العسكرية التي نشرته في هذه البلاد الفسيحة غير مكارم الأخلاق وسماحة الإسلام؟

كانت ومازالت مكارم الأخلاق وسماحة الإسلام هي القوة الجبارة التي تحمل الإسلام إلى كل أنحاء العالم، وهي القوة الذاتية للإسلام إلى كل أنحاء العالم، وهي القوة الذاتية للإسلام بما فيه عقيدة رفيعة وتشريع عادل وأخلاق عظيمة لا يمكن أن يتخلف من عرف الإسلام معرفة حقيقية عن ركب المؤمنين.

وهذه القوة الكامنة في الإسلام هي التي تخوف أعداء الإسلام، وتجعلهم يكذبون ويفترون على شعوبهم، وذلك أملا في إبعاد الناس عن الإسلام، ويضايقون المسلمين في بلدانهم، عكس الإسلام الذي حفظ حقوق الأقليات الدينية. وكان لسماحة الإسلام وحسن معاملة المسلمين للأقليات الدينية في الدولة الإسلامية أثر كبير في انتشار الإسلام، وجعلت الآخر يفتح بلاده للمسلمين.

وقد نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن قتل الشيوخ والنساء والأطفال ورجال الدين والأسرى في الحرب, وقال صلى الله عليه وسلم: "لا تغلوا ولا تغدروا ولا تمثلوا ولا تقتلوا وليدا" رواه مسلم، وقال أيضا: "انطلقوا باسم الله وبالله وعلى ملة رسول الله ولا تقتلوا شيخا فانيا ولا طفلا ولا صغيرا ولا امرأة ولا تغلوا" رواه أبو داود.

والإسلام دين الإنسانية ودين الأمن والسلام، وقد سبق الإسلام كل ما يسمى إعلان حقوق الإنسان في إعطائه حرية الاعتقاد والتدين، فقد عاشت الأقليات الدينية في البلدان الإسلامية جنبا إلى جنب مع المسلمين في ألفة ومحبة، والتاريخ شاهد على ذلك.

الإسلام لم يفرق بين الناس فيما يخص العيش والحقوق المدنية حسب الاعتقاد واللون والجنس، فقد ساوى بين النصراني واليهودي والمسلم في الحقوق المدينة، بل قد أعفى النصراني واليهودي من بعض الواجبات الأساسية، مثل الدفاع عن الوطن ولم يكلفهما بحماية الثغور ولا بمدافعة الأعداء في الجهاد وبحراسة المدن ليلا ولا بدفع الزكاة بل بقي الذمي في أمن وأمان يؤدي أعماله بكل حرية تامة ويستريح متى شاء، بينما المسلم كلف بدفع زكاة ماله في كل سنة ويقوم بحراسة المدن ويفارق أولاده وأهله وبيته، تكويه مرارة الغربة في الثغور، بينما بقي الذمي في منزله ومزرعته ومصنعه، وبين أهله وأولاده، يعيش بكل فرح مسرورا بين أصدقائه وذويه، يتمتع بالأمن والأمان.

هكذا جعل الإسلام السلام عقيدة ومنهجا عمليا، وسنة تطبق في مجالات الحياة جميعها، فهل يحق لذي عقل بعد هذا كله أن يعتقد بأن الإسلام انتشر بحد السيف؟ أو يتهم هذا الدين العنف والإرهاب وإراقة الدماء.

المصدر: صحيفة الدعوة الإسلامية، العدد 1109، من كتابة عبد الله كامل محمد/ جيبوتي (بالاختصار)